Shafar merupakan bulan kedua dari 12 (dua belas) bulan hijriyyah setelah bulan Muharram. Dinamakan bulan shafar karena kota Makkah (seolah-olah) kosong dari penghuninya apabila orang-orang bersafar (bepergian). Dikatakan pula, dinamakan Shafar karena dahulu memerangi kabilah-kabilah lalu ditinggalkan begitu saja karena tidak memiliki barang apapun (untuk dijarah).
Orang-orang Arab jahiliyyah jaman dulu mempunyai keyakinan bahwa Shafar
merupakan bulan penuh kesialan dan bisa mendatangkan bencana. Oleh
karena itu mereka tidak mau melakukan aktivitas yang biasa mereka
lakukan pada bulan-bulan lainnya, seperti menggelar hajat pernikahan,
khitanan, dan sebagainya. Sayangnya, keyakinan atau tradisi jahiliyyah ini masih dianut dan dijalankan oleh sebagian muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Seperti bulan sebelumnya, bulan Muharram, kedua bulan ini merupakan bulan yang penuh bala’, malapetaka, dan membawa sial.
Yang lebih menyedihkan lagi, bukan hanya meyakini (mitos) Shafar
sebagai bulan membawa sial, tepi sebagian orang menyibukkan diri dengan
melakukan (amalan-amalan) tirakat dan bershadaqah hingga berlalunya
bulan ini. Keyakinan di atas dinamakan dengan tathayyur atau thiyarah,
yaitu menganggap datangnya kesialan (nasib buruk) semata-mata
bersandarkan pada apa yang dilihat, didengar, atau dengan bersandarkan
pada waktu tertentu.
Thiyarah ini terus menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab jahiliyyah, hingga datanglah Islam yang kemudian meluruskan keyakinan yang bengkok ini.
Berikut ini adalah motos-mitos serta amalan-amalan jahiliyyah di bulan Shafar:
Pertama, merasa sial dengan bulan Shafar
Di jaman jahiliyyah, orang Arab beranggapan bahwa bulan Shafar merupakan bulan yang tidak baik. Bulan penuh bencana dan musibah, sehingga orang Arab menunda segala aktivitas pada bulan Shafar. Hal ini juga terjadi pada tradisi Kejawen.
Banyak hitung-hitungan (tanggal) yang digunakan untuk menentukan hari
baik dan hari tidak baik (sial), hari keberuntungan, dan hari kesialan
di bulan Shafar.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya
(tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak
dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak
dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar.” [HR. Bukhari No. 5757 dan Muslim No. 2220]
Dalam riwayat lain, dari Anas bin Malik رضي الله عنه, Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda,
« لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ » . قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ « كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ »
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya
(tanpa ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan
al fa’lu membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al fa’lu?” ‘Kalimat yang baik (thoyyib)’, jawab Nabi صلي الله عليه وسلم.” [HR. Bukhari No. 5776 dan Muslim No. 2224]
Al fa’lu adalah berangan kebaikan. Sedangkan thiyaroh adalah berperasaan akan datangnya keburukan. Berangan datangnya kebaikan adalah suatu anjuran karena hal ini termasuk husnu zhon (berprasangka baik) pada Allah.
Rasulullah صلي الله عليه وسلم telah menolak keyakinan orang-orang musyrik jahiliyyah yang menganggap bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Keberadaan bulan Shafar
adalah seperti bulan-bulan lainnya, tidak bisa memberikan pengaruh
apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah
Allah jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Kedua, keyakinan bathil tentang cacing perut
Masyarakat Arab jahiliyyah meyakini adanya penyakit cacing dalam perut yang disebut dengan shafar, yang akan berontak pada saat lapar dan bahkan dapat membunuh orangnya, dan yang diyakini lebih menular dari pada jarab (penyakit kulit/gatal).
Ketiga, amalan Rebo Wekasan
Sudah menjadi tradisi di kalangan sebagian umat Islam di Indonesia, terutama di masyarakat Islam-Jawa mengadakan ritual bernama Rebo Wekasan atau Rabu Pamungkas (Yogyakarta) atau Rebo Kasan
(Sunda-Banten), dengan berbagai cara. Ada yang merayakannya secara
sederhana, dan ada juga yang diadakan secara besar-besaran, seperti
membuat makanan yang diawali dengan tahmid, takbir, dzikir, tahlil, dan shalat
serta diakhiri dengan membaca doa-doa sebelum dibagikan kepada
masyarakat. Acara ini biasanya diadakan pada hari Rabu akhir bulan Shafar.
Ritual bid’ah Rebo Wekasan antara lain berupa:
Pertama, keyakinan bahwa Allah سبحانه
وتعالى menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu
pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar,
merupakan perkataan dan keyakinan yang bathil dan sesat. Bahkan ini
telah masuk kepada larangan “berkata tentang Allah تعالى tanpa ilmu”.
Allah تعالى berfirman :
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ
افْتَرَىٰ عَلَى اللَّـهِ كَذِبًا لِّيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ
إِنَّ اللَّـهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“… Maka siapakah yang lebih zalim
daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. Al-An'aam: 144 ]
Kedua, mengatakan bahwa hari tersebut
adalah hari yang paling berat sepanjang tahun, selain merupakan
perkataan tanpa ilmu dan perkataan yang bathil.
Ketiga, mengada-adakan shalat 4 raka’at dengan sebab tertentu, bilangan tertentu, dan tata cara tertentu tanpa ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan bi’d’ah yang nyata.
Dari Aisyah رضي الله عنه bahwa Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak.” [HR. Al-Bukhari No. 2550 & Muslim No. 1717]
Dalam hadits lain, Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang beramal dgn suatu amalan yang tak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak.” [Imam Muslim No. 1718]
0 Komentar:
Posting Komentar