Hadits-Hadits Tentang Junub: Definisi dan Beberapa Faedah

Pengertian janabah –secara bahasa– diambil dari bahasa arab, yaitu dari kata “junubin”, yang artinya “jauh”. Adapun pengertian dalam istilah syar’i ialah “terjauhkannya seseorang dari ibadah-ibadah tertentu karena sebab keadaannya yang junub”.

Begitulah munasabah (hubungan antara bahasa arab dengan istilah syariat). Istilah dalam syariat diambil dari lughah (bahasa arab), yang kemudian dikhususkan. Contoh lain:

  * Hajj, secara bahasa artinya qashd (tujuan). Sedangkan dalam istilah syari’at, hajj artinya suatu tujuan yang khusus, yaitu untuk mendatangi baitullah dalam rangka melakukan ibadah tertentu.
   * Umrah, secara bahasa artinya ziarah (berkunjung). Sedangkan dalam istilah syariat, umrah artinya berkunjung ke Ka’bah dalam rangka melakukan ibadah tertentu.

Kata “junub” dapat digunakan secara umum, baik itu untuk muannats, mudzakkar, mufrad, maupun jamak. Contohnya: rojulun junubun (mudzakkar), imroatun junubun (muannats), atau antum junubun (jamak).

Pada bab janabah ini, hadits pertama yang dibawakan oleh Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi ialah hadits shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه و سلم لقيه في بعض طرق المدينة و هو جنب، قال: فانخنست منه فذهبت فاغتسلت ثم جئت. فقال: أين كنت يا أبا هريرة؟ قال: كنت جنبا فكرهت أن أجالسك و أنا علي غير طهارة. فقال: سبحان الله إن المسلم -و في رواية: المئمن- لا ينجس.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; dia menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengannya di salah satu jalan kota Madinah. Ketika itu dia dalam keadaan junub. Abu Hurairah mengatakan, “Aku menghindar dari beliau dan pergi untuk mandi. Lalu aku menemui beliau.” Kemudian Nabi bersabda,”Dimanakah kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah mengatakan, “Aku tadi sedang junub, karena itu aku tidak suka duduk-duduk denganmu sementara aku dalam keadaan tidak suci.” Lalu Nabi bersabda, “Mahasuci Allah! Sesungguhnya orang muslim – dalam riwayat lain: mukmin – tidaklah najis.”

Dari hadits di atas, terdapat faedah-faedah yang dapat kita ambil, yaitu:

1. Terdapat pelajaran adab

Jika kita melihat saudara kita melakukan sesuatu yang aneh atau melakukan suatu kesalahan, sikap kita seharusnya ialah tidak langsung mencela, menyalah-nyalahkan, atau pun memaki. Akan tetapi, selayaknya kita ber-tabayyun (konfirmasi, ed.), bertanya langsung terlebih dahulu pada yang bersangkutan: mengapa ia melakukan hal tersebut.

Bahkan pada orang kafir sekalipun. Contohnya, pada kisah momentum pertempuran Khaibar, seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa daging kambing yang telah ditaburi racun. Sebagaimana disebutkan di dalam riwayat berikut ini.

Dari Ibnu Syihab; ia mengatakan, “Dahulu Jabir radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa ada seorang wanita Yahudi dari penduduk Khaibar yang meracuni seekor kambing bakar. Kemudian menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengambil paha kambing itu dan memakannya. Beberapa shahabat pun juga ikut makan bersama beliau. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para shahabat, “Jangan kalian makan!”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk memanggil wanita (yang memberi kambing) itu dan wanita itu pun datang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera bertanya kepadanya, “Apakah kamu telah meracuni kambing ini?”

Wanita itu menjawab, “Siapa yang telah memberitahumu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Paha kambing ini yang telah mengabariku.”

Wanita itu berkata, “Ya (aku telah meracuninya).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apa yang kamu kehendaki dari perbuatanmu ini?”

Wanita itu berkata dalam hati, “Jika dia seorang nabi, makanan itu pasti tidak akan membahayakannya. Dan jika dia bukan seorang nabi, maka kami akan selamat dari gangguannya.”

Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan wanita itu dan tidak menghukumnya. Sebagian shahabat yang memakan kambing itu meninggal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berbekam kepada Abu Hindun (bekas budak Bani Bayadhah) dengan tanduk dan pisau.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tatkala ada seorang shahabat nabi yang meninggal karena karena racun tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar wanita tersebut dibunuh. (HR. Abu Dawud, no. 4510)

Bila si wanita Yahudi saja diajak ber-tabayyun, apatah lagi dengan sesama muslim, sesama saudara kita semanhaj. Hendaknya janganlah kita bermudah-mudah mencari kesalahan-kesalahan mereka, bermudah-mudah mencela mereka, karena siapa tahu mereka memang mempunyai udzur, mempunyai alasan tersendiri mengapa sampai mereka melakukan hal tersebut. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang pergi tanpa izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu beliau Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-tabayyun (bertanya langsung pada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu): mengapa ia bersikap seperti itu.

Ternyata, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berlalu diam-diam semata karena dia sangat menghormati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai dia malu untuk duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan junub. Hal ini merupakan ihtiram (sikap pengagungan yang sangat tinggi).

Inilah adab dari para shahabat. Mereka sangat menghormati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai malu, enggan untuk bertemu atau duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masih keadaan junub atau tidak suci.

2. Hadits ini pula sebagai dalil bolehnya menunda mandi junub.

Pada hadist di atas terlihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang menunda mandi junubnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang pergi tanpa izin, padahal dia sudah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Faedah lainnya dari hadist di atas ialah jika seorang muslim terkena hadats, badannya tidaklah menjadi najis. Dengan demikian, dia tidak terhalang untuk bergaul dengan muslim yang lain.

Adapun perkataan bahwa “orang-orang musyrik itu najis” maka yang dimaksud adalah aqidahnya yang najis, bukan badannya, demikianlah menurut pendapat yang rajih (kuat). Allahu a’lam.
Berbagi ke Google+

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment