Hukum "Riba" Dalam Islam (Bunga BANK)


Islam telah menetapkan hukum riba dan larangannya, termasuk di dalamnya riba dan bunga bank | haram. Praktek-praktek kapitalisme berupa bunga Bank, kartu kredit, kredit motor, kredit mobil, kredit barang-barang rumah tangga hingga KPR atau kredit perumahan. Semua praktek riba tersebut hukumnya haram, pelakunya dihinakan Allah jika tidak segera bertaubat, dasarnya sangat tegas terdapat dalam firman Allah SWT QS. Al Baqarah (2) ayat 275:

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌۭ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Hukum riba dan bunga bank hingga saat ini masih banyak kaum muslimin yang tidak faham. Sebagian mengatakan riba itu haram jika berlipat-lipat, dan sebagaian mengatakan seberapapun jumlah tambahan dari pinjaman itulah definisi riba. Ada yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak haram karena hanya kecil bunganya sehingga dianggap sebagai jasa penyimpanan saja.Bagaimana melihat fenomena pendapat dimasyarakat terkait hukum riba dan bunga bank? tulisan ini akan mencoba mengulasnya.

RIBA adalah sebuah fenomena yang telah mendunia. Praktek riba sudah dikenal sejak munculnya transaksi perdagangan dalam peradaban manusia ribuan tahun yang silam. Dalam masyarakat Yunani kuno kata riba dikenal dengan istilah “rokos” yang artinya keturunan makhluq organik (maksudnya bisa melahirkan mata uang baru ). Demikian pula persoalan riba sempat disinggung dalam kitab Taurat maupun Injil. Dan Al Qur’an dengan jelas memaparkan pandangannya mengenai riba.

Kedudukan persoalan ini yang mendapatkan perhatian penting setiap peradaban dan agama samawi mempunyai arti bahwa dosa riba telah menjadi borok peradaban manusia yang menggerogoti tubuhnya secara perlahan-lahan, yang mampu menghancurkan sendi-sendi peradaban, dan diperlukan tindakan preventif untuk menanggulangi bahkan untuk menghancurkan penyakit ini secara keseluruhan. Hal inilah yang menjadikan riba mendapat perhatian penting dalam setiap kurun dan peradaban manusia.

Namun masih banyak orang yang tidak mengetahui apa hakikat riba dan bagaimana Islam membasmi praktek-praktek riba dan yang sejenisnya dari akar-akarnya. Bagaimana kerasnya siksa yang ditimpakan Allah SWT kepada pelaku riba di akhirat kelak serta kehinaan yang mereka terima di dunia. Tidak ada masalah jahili­yah yang dinilai Islam begitu keji dan keharusan yang sangat untuk memberantasnya melebihi masalah riba ini. Dan tidak ada kemungkaran selain syirik yang begitu besar ancamannya melebihi kemungkaran riba.

Definisi Riba

Riba menurut bahasa berarti “tambahan”.Sedangkan menurut syara’, riba adalah “tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjam (barang atau uang) dengan tempo atau batas waktu” . Menurut Ali bin Muhammad ad-Durjani, riba adalah tambahan yang tidak menjadi imbalan bagi sesuatu yang disyaratkan bagi salah seorang yang meminjam dan yang mem­beri pinjaman. Riba menurut istilah tadi barangkali terlalu sempit. Istilah yang lebih baik dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdur­rahman  yaitu setiap tambahan pada salah satu pihak (dalam) aqad Mu’awwadhoh tanpa mendapat imbalan, atau tambahan itu dipe­roleh karena penangguhan.

Riba terdiri dari dua macam : riba nasiah dan riba fadhal.Akan tetapi menurut para ulama pengikut Syafi’i, riba terdiri atas tiga macam : riba fadhal yang di dalamnya termasuk riba qardh, riba nasiah, dan riba yad. Berdasarkan hal itu maka kita mengenal berbagai bentuk riba yang tercakup dalam empat kategori:

1. Riba Nasiah: memberi hutang kepada orang lain dengan tempo yang jika terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/nilainya sebagai tambahan atau sanksi.
2. Riba Fadhal: menukarkan barang yang sejenis tetapi tidak
sama keadaannya atau menukar barang yang sejenis tetapi berbeda nilanya.
3. Riba Qardh: meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi utang.
4. Riba Yadd: pihak peminjam dan yang meminjamkan uang/barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan timbang terima. Dalam keadaan demikian khawatir terjadi penyimpangan.

Riba Nasiah lebih terkenal dengan sebutan riba jahiliyyah, dimana seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan setiap bulan diambilnya tambahan tertentu jika melewati batas/temponya. Mengenai istilah riba jahiliyyah disinggung pada khutbah Rasulullah SAW pada saat Hijjatul Wada:

“… dan sesungguhnya riba jahiliyyah itu dihapuskan, dan bahwa­sannya riba yang pertama kali kuhapuskan adalah riba pamanku Abbas bin ‘Abdul Muthallib…”

            Adapun hadits yang menyinggung riba fadhal diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama-sama dari tangan ke tangan. Barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan sungguh ia telah berbuat riba“. (HR. Bukhari dan Ahmad).

Tentang riba qardl, maka kita mengenal kaedah fiqih yang berkaitan dengan masalah ini.
“Setiap bentuk qardl (pinjaman) yang menarik manfaat (membuahkan bunga) adalah riba.” 10)
Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan uang dibalik pinjaman termasuk riba yang dilarang oleh syari’at Islam.

Mengenai riba yadd telah diriwayatkan bahwasannya Malik bin Aus bin Hadtsan mencari-cari orang yang dapat menukar uangnya 100 dinar, lalu datang Thalhah. Thalhah menjelaskan ciri-ciri ba­rangnya, sampai kemudian Malik mau menerimanya. Tatkala Thalhah mengambil uangnya (penukar 100 dinar) ia berkata:

‘Tunggu sampai orang yang membawa uangku (bendahara) di al-Ghaba (nama tempat dekat Madinah). Peristiwa ini kemudian didengar oleh Umar seraya berkata: ‘Tidak, demi Allah janganlah meninggalkannya sampai ia mengambil pembayarannya.

‘Rasululla saw telah bersabda:

“Emas dengan perak adalah riba kecuali langsung serah terima, gandum dengan gandum adalah riba kecuali langsung serah terima, kurma dengan kurma adalah riba kecuali langsung serah terima, sya’ir dengan sya’ir adalah riba kecuali langsung serah terima.”

Peristiwa diatas menunjukkan bahwa pertukaran suatu barang dengan barang lainnya harus dilakukan saat itu juga. Pengunduran waktu serah terima dari salah satu pihak dapat menyebabkan adanya riba.

Berdasarkan pengertian beberapa macam istilah riba ini, maka dalam praktek perekonomian dewasa ini banyak sekali yang bisa dimasukkan dalam salah satu kategori tadi sesuai dengan pertumbu­han dan perkembangan aktifitas ekonomi, perdagangan dan keuangan yang meningkat dengan pesat. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda:
Riba itu mempunyai 73 macam tingkatan …..(HR Ibnu Majah dan al-Hakim dari Ibnu Mas’ud dengan sanad shahih). Dalam hadits lain Rasulullah mengisyaratkan akan mun­culnya sekelompok manusia yang menghalalkan riba dengan dalih aspek perdagangan.

“Akan datang suatu saat nanti kepada umat ini tatkala orang-orang menghalalkan riba dengan dalih ‘perdagangan(HR Ibnu Bathah dari al-Auza’i)
Ringkasnya, dengan melihat perkembangan perekonomian yang tumbuh dengan cepat maka definisi riba harus mencakup seluruh bentuk riba, baik yang ada di masa Jahiliah (seperti riba nasi’ah,riba fadhal, riba qardl dan riba yadd) maupun riba yang ada dimasa sekarang seperti riba bunga bank termasuk didalamnya bunga dalam pinjaman/kredit, infestasi, deposito, jual beli surat berharga, agio saham, penundaan dari salah satu pihak yang bera­qad dalam pertukaran mata uang maupun pengalihan rekening antar bank dan sebagainya. Jadi pengertian riba adalah tambahan dalam aqad dari salah satu pihak, baik dari segi uang, materi/barang, waktu maupun persyaratan lainnya tanpa ada usaha apapun dari pihak yang menerima tambahan tersebut.

Hukum Riba dan Tanggapan Atas pihak Yang Menghalalkannya


Hukum riba dan bunga bank: haram

Al-Qur’an telah menyinggung masalah riba dalam beberapa ayatnya. Dan sebagaimana diketahui bahwa pengharaman riba saat itu didahului beberapa ayat yang menunjukkan kekejian riba dan ancaman yang telah menimpa orang-orang Yahudi dahulu karena mereka sering mengambil riba dalam dagang dan utang-piutang, kemudian diturunkan satu ayat yang mengharamkan riba yang berli­pat ganda saja, … sampai ayat yang terakhir yang mengharamkan segala jenis dan bentuk riba, besar maupun kecil.

Ayat pertama yang diturunkan tentang riba adalah firman Allah SWT:
“Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, maka yang demikian itu tidak (berarti) bisa menambah di sisi Allah …(QS.Ar Ruum:39).
Ayat ini diturunkan di Mekkah tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai haramnya riba. Yang ada hanyalah isyarat keben­cian Allah SWT terhadap riba sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas riba.

Sedangkan ayat yang kedua adalah firman Allah SWT tentang tindakan Bani Israil yang menyebabkan kemurkaan Allah SWT. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:

“Maka lantaran kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka beberapa jenis makanan yang baik-baik*)yang sedianya dihalalkan kepada mereka. Dan lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba, padahal mereka telah dilarangnya”(QS. An Nisa : 160-161).
Ayat ini turun di Madinah kira-kira sebelum perang Qurayzah yang terjadi pada tahun ke V atau sebelum perang Bani An Nadlir pada tahun ke IV H. Ayat ini memberikan kepada kita kisah pela­jaran tentang tingkah laku Yahudi yang melanggar larangan Allah dengan melakukan praktek-praktek riba. Maka merekapun mendapat­kan laknat dari Allah SWT. Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan riba, sebab kaitannya dengan syari’at Bani Israil dan hanya menunjukkan bagaimana perilaku orang-orang Yahudi yang dilaknat Allah SWT.*) Makanan-makanan yang diharamkan tercantum dalam QS. Al An’am:146

Adapun ayat yang ketiga adalah firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda…” (QS. Ali’Imran:130)
Ayat ini diturunkan di Madinah dan mengandung larangan yang tegas yang mengharamkan salah satu jenis riba (Riba Nasiah). Berarti larangannya masih bersifat sebagian, belum menyeluruh. Penghara­man riba pada ayat ini hanya berlaku bagi praktek-praktek riba yang keji dan jahat, yang membungakan uang berlipat-lipat.

Ayat yang terakhir diturunkannya mengenai riba adalah ayat:


“Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggal­kanlah apa yang masih tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman…” (QS. Al Baqarah : 278).

Dengan turunnya ayat ini maka riba telah diharamkan secara menye­luruh, tidak lagi membedakan banyak maupun sedikit. Ayat ini dan tiga ayat berikutnya sekaligus merupakan ayat tentang hukum yang terakhir dan pemutus hubungan antara bumi dan langit.

Bagi kaum muslimin saat ini, yang hidup setelah Rasulullah SAW meninggalkan kita, maka hukum yang berlaku adalah hukum pada ayat yang terakhir, yang telah menasakh hukum pada ayat-ayat sebelumnya. Ayat di atas tadi menjelaskan bahwasanya riba diha­ramkan dalam segala bentuknya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin mengenai keharamannya sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan Kitab Allah, Sunnah RasulNya, dan Ijma’ kaum muslimin termasuk madzhab yang empat. Dalam hal diharamkannya riba tidak ada perbedaan antara laki-laki, perem­puan, budak, maupun mukatib, semuanya sama. Hal ini telah dimaklumi oleh kaum muslimin sejak kurun yang pertama, dan mereka memasukkan riba ke dalam dosa/kemaksiatan yang besar, yang pelakunya akan mendapatkan adzab yang tak terpelakkan pedihnya di akhirat.

Memang pada akhir-akhir ini muncul segolongan di antara kaum muslimin yang membolehkan praktek-praktek riba, khususnya ten­tang bunga bank (intereast) yang telah membudaya dalam masyara­kat. Mereka membolehkan dengan alasan darurat, dan mengungkap­kan bahwa pada saat ini ummat tidak akan dapat melakukan aktivi­tas ekonomi tanpa terkait deangan bunga atau bank. Jadi tidak ada jalan lain keacuali meambolehkannya.

Alasan seperti ini tampaknya alasan klise untuk menjustifik­asi apa yang telah mereka lakukan. Lagi pula terminologi daru­rat dalam syariat Islam adalah seperti yang dikemukakan oleh Imam Suyuthi.

“Sampainya seseorang pada batas suatu keadaan yang jika orang tersebut tidak melakukan hal-hal yang dilarang maka ia akan binasa (rusak atau mati-pen) atau mendekatinya”.

Maka muncul pertanyaan apakah keadaan saat ini sudah sampai kepada situasi dan kondisi seperti itu? Kalau misalnya hal ini bisa diterima maka tentu saja yang nama nya darurat itu ada batas dan masanya, tidak akan berlaku selamanya. Berarati bila ada seseorang menderita kelaparan yang tidak mendapatkan jalan lain kecuali deangan meminjam uang dari bank, dengan ketentuan riba, maka ia dibolehkan membayar uang bunga tersebut sampai penderitaannya berlalu. Akan tetapi dasar tersesbut tidak bisa diterima untuk kebutuhan sekunder selain dari makanan dan minuman. Berdasarkan alasan tadi maka dalih yang dibuat oleh segolongan umat yang maenghalalkan praktek riba tidak bisa diterima.

Sebagian kaum musllimin yang imannya lemah berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang keji, yang menarik bunga sangat tinggi dan dapat mencekik leher manusia. Adapaun riba yang sedikit tidaklah haram dengan alasan QS. Ali Imran (3) :130 di atas.

Dalam al-qur’an lafadz ‘adl ‘afan mudloafah ‘(berlipat ganda) berfungsi sebagai ‘waqi’atul ‘ain, yaitu suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di masa jahiliah dan menun­jukkan betapa kejahatan yang mereka lakukan.  Dan bagi mereka yang masih awwam tentang agama dan tidak mau mengerti mengenai hukum Islam, apakah mereka tidak beriman kepada seluruh ayat Al-Qur’an, apakah mereka kufur terhadap sebagian ayat dan beriman terhadap sebagian yang lain? Mengapa justru ayat itu yang dipakai sebagai alasan bukan ayat Qs.Al-Baqarah :275 dan 278, yang telah menghapus hukum yang sebelumnya.

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Qs. 2 :275)
“…….takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apayang tersisa dari riba…..” (Qs. Al-Baqarah :278)

Yang lebih parah adalah munculnya segolongan diantara kaum muslimin yang mengatakan riba untuk tujuan produktif adalah boleh, dengan alasan riba yang dilarang sebagaimana dimasa jahili­ah adalah untuk keperluan konsumtif.

Alasan seperti ini terlalu dibuat-buat, mencerminkan sifat-sifat orang munafik dan orang-orang yahudi yang senantiasa men­cari-cari alasan untuk membenarkan tindakan mereka. Lafadz Riba ( ) bermakna umum, Huruf alifdan lam didepan menunjukkan sifat lil jins atau lil istighraq yang melukiskas keumumannya. 20) Berdasarkan pengertian ini maka lafadz riba berarti mencakup baik yang konsumtif maupun yang produktif, keduanya termasuk riba yang diharamkan. Untuk mengeluarkan atau mengecualikan hukum-hukum dari lafadz yang bersifat umum diperlukan dalil-dalil yang lain yang mentakhsiskan keumuman ini. Dalam masalah riba tidak ada satu nashpun yang mentakhsiskan hukumdari ayat-ayat tentang riba, sehingga hukum riba berlaku sesuai dengan keumuman lafadz­nya.

Ancaman Terhadap Pelaku Riba

A. Ancaman dari al-Qur’an.
1. Dalam QS. Al Baqaah ayat 275:
“Orang-orang yang memakan harta riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syethan, lanta­ran (tekanan) penyakit gila…” (Qs. al-Baqarah :275).
Orang yang melakukan praktek-praktek riba, kelak dihari kiamat perilakunya bagaikan orang yang kesurupan syethan yang tercekik.21). Abdullah bin Abas menerangkan mengenai ayat ini bahwasannya kelak di hari kiamat akan dikatakan kepada para pemakan riba:’Angkatlah senjatamu untuk berperang’.
Muhammad Ali Ash-Shobuni lebih lanjut menerangkan dalam tafsirnya
“Dipersamakannya pemakan riba dengan orang-orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu Allah memasukkan riba kedalam perut mereka lalu barang itu memberatkan mereka, sehingga sempoyongan, jatuh bangun. Hal ini menjadi ciri-ciri mereka dihari kiamat sehingga semua orang mengenalnya”.
2.Firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 279:
“Kemudian jika kamu tidak mau mengerjakan (meninggalkan riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (Qs:Al-BAqarah:279)
Maksud dari ayat ini bahwasannya apabila seseorang tidak mau meninggalkan aktifitas riba,maka ketahuilah baginya berhak untuk diperangi didunia dan diakhirat kelak akan dilempar kedalam api neraka,karena melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.

Lafadz ‘harbun'( ) dengan bentuk nakiroh adalah untuk menun­jukkan besarnya masalah ini,lebih-lebih dengan menisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Seolah-olah Allah memaklumkan:

‘Percayalah akan ada suatu peperangan yang dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak mungkin dapat dikalahkan. Hal ini mengisya­ratkan akibat akibat yang paling mengenaskan yang pasti akan dialami oleh para pemakan riba.25) Adapun lafadz ‘kaffar'( ) dan ‘Atsim'( ) yang termasuk sighot mubalaghoh,yang artinya menunjukkan banyak kekufuran dan banyak berbuat dosa (dalam Qs al-Baqarah :276) melukiskan bahwa keharaman riba itu keras seka­li, termasuk perbuatan orang-orang kafir dan bukan perbuatan orang-orang Islam.

Barang siapa yang merenungkan makna ayat-ayat tadi dengan segala kandungannya seperti gambaran yang akan menimpa para pemakan riba,orang yang menghalalkannya, maka dia akan mengetahui betapa keadaan mereka kelak di akhirat. Mereka akan dikumpulkan dengan keadaan gila dan kesurupan, kekal di neraka,dipersamakan dengan orang kafir, akan mendapatkan perlawanan dari Allah dan Rasul-Nya yang mustahil terkalahkan. Itulah balasan mereka yang masih melakukan praktek-praktek riba termasuk orang-orang yang menghalalkannya. Na’udzubillahi min dzalika.

B. Ancaman Dari Hadits dan Pendapat Shahabat

Tidak ada seorang muslimpun yang tidak mengetahui bahwa melakukan riba adalah sesuatu yang terlarang dan harus dihindari. Bahkan riba termsuk salah satu dosa besar. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan ….(salah satunya adalah) memakan riba ….” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karaena itu, orang yang melakukan riba akan mendapatkan laknat dari Allah, sebagaimana diriwayaatkan dari Jabir bahwasa­nyaRasuilullah SAW telah melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan, penulisnya dan dua orang saksinya. Dan beliau bersabda mereka itu sama.” (HR. Muslim, dan Bukhari dri Abi Juhaifah).

Di dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa perbuatan riba lebih menjijikkan dari pada perbuatan zina. Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi SAW bersabda:

“Riba itu mempunyai 73 pintu (dosa), sedangkan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya …” (HR. Ibnu Majah dan Al Hakim).

“Satu dirham yang diproleh seseorang dari hasil riba lebih besar dosanya 36 kali dari perbuatan zina dalam Islam”, (HR. Baihaqi dariAnas bin malik)
Dalam menanggapi QS. Al Baqarah(2):275 Abdullah bin Abbas ra. berkata:
“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Khalifah) untukmenasihati orang-orang tersebut. Jika mereka masih tetapkeras kepala, maka seorang Imam dibolehkan untuk memenggal lehernya
Menurut Muhammad Ali Sais, jika seseo­rang melakukan riba tetapi tidak taubat, maka seorang Imam harus menghukumnya deng ahukuman ta’zir.

Berdasarkan keterangan di atas apabila Daulah Islam telah berdiri, maka praktek-prektek riba apapun bentuk dan namanya harus dihapuskan. Orang yang masih melakukan riba akan menghada­pi sanksi yang sangat keras di dunia, dan di akhirat kelak akan mendapatkan dirinya dilempardan kekal di neraka. Abu Hurairah ra. berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
“Tatkala malam aku di mi’rajkan, aku melihat suatu kaum yang perut mereka bagai­kan rumah, tampak di dalamnya ular-ular berjalan keluar, lalu aku bertanya;”Siapakah mereka itu wahai Jibril ?” Jawab Jibril,”Mereka adalah para Pemakan riba”.
Barangkali ada baiknya jika Kita meneladani bagaimana sikap para shahabat dalam menghadapi persoalan ini. Diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata : “Diantara ayat-ayat yang terakhir turunnya adalah ayat tentang riba, dan Rasulullah meninggal dunia sebelum menerangkan perinciannya kepada kami, oleh karena itu tinggalkan­lah riba dan setiap hal yang meragukan”.

Bagi kaum muslimin yang telah mengetahui persoalan ini hendaknya bertindak sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami mentaatinya, oleh karena haramnya riba telah sampai kepada kita.

Tidak ada hak bagi seorangpun untuk mencari-cari alasan guna menghindari haramnya riba dan tidak ada dalil sedikitpun yang membolehkan persoalan ini dari keharamannya. Tidak ada seruan yang paling baik dalam masalah ini selain apa yang diser­ukan Allah dan Rasulul-Nya. Tidak ada ketaatan terhadap mahluq dalam hal melanggar persoalan-persoalan yang melanggar ketentuan Alloh dan Rasul-Nya.

Wahai kaum Muslimin tidakkah kalian memba­yangkan betapa dahsyatnya balasan bagi para pelaku riba, pedihnya siksaan yang akan mereka alami dan sepanjang hidupnya mendapatkan la,nat daro Allah dan Rasulnya ? Dan tidakkah kalian perhatikan bagaimana dalam ayat riba pada akhirnya Allah memperingatkan kepada kita:

Dan peliharalah dirinmu (dari adzab) pada suatu hari, dimana kamu sekalian akan dikembalikan kepada Allah di hari itu, kemud­ian masing-madsing jiwa akan dibalas dengan sempurna apa yang telah dikerjakannya itu dan mereka tidak akan dianiaya“. (Qs. Al-Baqarah 281)

Berbagi ke Google+

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 Komentar:

Posting Komentar